Setiap memperingati hari kemerdekaan, masyarakat memiliki cara tersendiri melalui perkumpulan organisasi kepemudaan di kampung, di desa dan di kota-kota, melalui Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau bahkan sampai pemerintahan tingkat desa dan kelurahan menggelar berbagai perlombaan. Dari lomba sepak bola antar kampung (Tarkam), lomba bola voly, lomba lari karung, tarik tambang sampai lomba-lomba yang cukup serius seperti lomba main catur, atau permainan kartu beregu.
Anak-anak tidak usah khawatir, bukan hanya dilibatkan sebagai pelengkap kegembiraan orang-orang tua, tetapi disediakan juga lomba untuk anak-anak, lomba makan kerupuk, lomba gigit uang logam, lomba jalan cepat dengan menggigit sendok yang ada kelerengnya, lomba bola kaki, bahkan juga ada lomba lari karung dan tarik tambang anak-anak.
Setiap warga tidak pernah menolak bila dimintai sumbangan untuk pembiayaan berbagai perlombaan dan membersihkan lingkungan kampung, desa dan kota dengan semarak berbagai hiasan hari ulang tahun kemerdekaan yang dikumpulkan oleh panitia yang biasanya dibentuk secara dadakan.
Bukan soal hadiah yang bakal diterima di malam resepsi hari ulang tahun kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yang biasanya diserahkan dalam suasana meriahnya orkes dangdut, musik asli Indonesia. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat, ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak berpartisipasi dalam setiap perlombaan sebagai bentuk mensyukuri kemerdekaan atas berkat rahmat Allah, juga sebagai ungkapan bagaimana masyarakat kecil di kampung, di desa dan di kota-kota mencintai bangsanya, ”Cinta Indonesia”.
Kini enam puluh enam tahun Indonesia telah merdeka. Hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2011 diperingati dalam suasana masyarakat muslim Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mungkin sulit bagi kita menemukan berbagai perlombaan yang setiap tahun diperlombakan di kampung, di desa dan di kota-kota. Sulit pula bagi kita menyaksikan perlombaan panjat pohon pinang dengan berbagai hadiah yang menggiurkan.
Kita merindukan suasana riuh-rendah, tepuk sorak-sorai kemeriahan di setiap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Kali ini, suasana keheningan, kekhusukan bulan suci Ramadhan yang sangat spritual bagi umat Islam dalam peringatan kemerdekaan negara Indonesia, mudah-mudahan mampu memberi makna yang lebih mendalam bagaimana mencintai bangsa, ”Cinta Indonesia” yang sesungguhnya.
Masing-masing warga Indonesia mempunyai cara sendiri-sendiri bagaimana mencintai bangsanya. Bagi warga Indonesia, nasionalisme ditempatkan di dalam hati nurani masing-masing. Lantas, apakah nasionalisme serta nation state warga bangsa Indonesia di era globalisasi akan tergerus oleh akan datangnya the end of nation state, sebagaimana yang dibayangkan Kenichi Ohmae, suatu negara tanpa tapal batas, the borderless state, akan semakin banyak munculnya manusia kosmopolitan yang merasa bahwa seluruh dunia ini tanah airnya.
Tidak cukup banyak indikasi yang mendukung sinyalemen berakhirnya negara-bangsa, Keterikatan pada kampung halaman, pada homeland atau pada tanah air, menurut Safroedin Bahar, merupakan suatu kebutuhan rohaniah. Meskipun demikian, banyak pula warga bangsa Indonesia membayangkan Indonesia dan memperbandingkan kemajuan sosial, budaya, ekonomi, politik, demokrasi negara maju di Eropa dan terutama Amerika Serikat menjadi cita-cita suatu capaian kemajuan di Indonesia.
Kemajuan demokrasi di Indonesia layak disyukuri oleh setiap warga bangsa Indonesia. kita telah berhasil membangun budaya demokrasi yang baik, melalui suatu pemilihan yang bebas dan pemberian suara yang rahasia sebagai perlambang demokrasi. Akan tetapi, demokrasi bagi Nurcholish Madjid, tidak ’bersemayam’ dalam pemilu-pemilu. Jika demokrasi –sebagaimana dipahami di negeri maju—harus punya ’rumah’, maka rumahnya adalah ”masyarakat madani” (civil society).
Boleh saja kita menerima hal-hal yang baik, modern dan maju dari pemerintahan yang demokratis seperti negara Amerika Serikat, akan tetapi jangan bandingkan Indonesia yang baru merdeka enam puluh enam tahun dengan Amerika Serikat yang merdeka telah dua ratus tahun lebih lamanya. Jangan bandingkan Amerika Serikat yang memiliki Presiden sudah empat puluhan orang banyaknya dengan Presiden Indonesia yang enam orang jumlahnya.
Setiap warga bangsa Indonesia tidak menghendaki enam puluh enam tahun Indonesia merdeka seperti situasi sosial, politik dan ekonomi Amerika Serikat ketika mencapai enam puluh lima tahun kemerdekaannya. Warga bangsa Indonesia mempunyai demokrasi sendiri dalam menata dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan 17 Agustus 1945. Suatu cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia yang dibentuk melalui suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kedalaman keheningan khusuk Ramadhan dalam peringatan enam puluh enam tahun Indonesia merdeka kali ini, kita pantas merenungi makna kemenangan menurut Muhammad Natsir bahwa, “Kemenangan perjuangan pada hakikatnya tidak semata-mata karena tempat yang diduduki cukup banyak, atau kekuasaan ada di tangan. Tetapi hakikat kemenagan ialah apabila semua itu dipergunakan untuk menolong dhu’afa –dari nasibnya yang malang. Keluh mereka dapat terbujuk, air mata disapu dari muka, tangan yang menadah mengadukan nasib kepada Tuhan disambut dengan bimbingan: bila semua ini berganti dengan wajah baru sampai si lemah terlepas dari penderitaannya, di sinilah baru kita merasakan kemengan baru kita peroleh.”
Enam puluh tujuh tahun Indonesia merdeka, setiap kita, warga bangsa Indonesia, negara dan pemerintah Republik Indonesia memiliki tanggung jawab bersama: Membangun Kebudayaan (Jati Diri) Bangsa Indonesia, Membangun Kedaulatan Bangsa Indonesia dan Membangun Kesejahteraan Bangsa Indonesia. Ini sesungguhnya makna kemerdekaan sebenarnya, sebagai kecintaan terhadap bangsa Indonesia, ”Cinta Indonesia”.
0 komentar:
Posting Komentar